Bismillahirrohmanirrohim

wahai sahabat...
dengan ilmu kita akan mendapatkan segalanya..
dengan ilmu kita akan selamat dunia akhirat..

Selamat Datang Pengunjung Ke

Follow

Selasa, 15 Maret 2011

Al-Ghazali

BAB I
PENDAHULUHAN

Tidak diragukan lagi Al-Imam Besar seorang pemikir muslim yang sungguh memiliki ketangkasan azam dan iltizam yang cukup tinggi. Hingga cita rasanya sampai mendunia, terkenang sepanjang masa. Dalam kaya-karya yang besar dan hasil pemikiran beliau, dari ceramah-ceramah yang beliau sampaikan, dari makalah-makalah ilmiah yang ia tulis, sifat kesabaran, keanggunan, tutur bahasa yang mudah dipahami dan jelas menjadikan masyarakat begitu segan ingin berjumpa dengan beliau untuk belajar. Dari aspek tujuan pendidikan dan posisi mudaris dalam mendidik para muridnya, beliau memberikan penjelasan, bahwa kata sukses akan dapat kita raih disepanjang sejarah pendidikan ini, jika ada dukungan dari tujuan yang terarah dan terencana dan peran seorang mudaris dalam memainkan peran dan fungsinya baik ketika ia sedang mengajar maupun ketika ia diluar jam mengajar.Pendidikan menurut pandangan Al-Iman Al-Ghozali ialah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Oleh karena itu membentuk akhlak yang baik pada peserta didik bagi seorang mudrais sangatlah menjadi tujuan utama dalam pemikiran seorang imam besar tersebut. Pada paradigma aliran pendidikan sifat pemikiran yang dikemukaan oleh Al-Ghozali lebih bersifat konservatif, beliau cenderung memandang anak didik adalah manusia yang suci yang harus ia isi dan kita warnai dengan hal-hal yang baik. Sehingga proses pewarnaan yang ada dapat terbentuk dengan sempurna. Wallahu’alam


RUMUSAN MASALAH

1. Setting Sosial Cultural tokoh ?
2. Konsep tujuan pendidikan dan Pendidik menurut Imam Al-Ghozali?
3. Analisis kritis menurut konsep tersebut ?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Setting Cultural Tokoh Al-Imam Al-Ghozali
1. Kisah Hidup Al-Ghozali
Nama lengkap ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammmad, mendapat gelar Imam besar (Al-Alama) Abu Hamid Al-Ghozali Hujatul Islam, dilahirkan di kampung Ghazalah, Thusia suatu kota di Khurasan Persia pada tahun 450/1085 M, dengan kondisi masyarakatnya hampir semua hidup dalam naungan ibadah dan tersebarnya serta berkembangnya ajaran tasawuf pada masa Al-Ghozali ini. Ia merupakan keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah di daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz. Ayahnya seorang pedagang tenun, ia dimata masyarakat di juluki orang yang jujur, hidup sederhana dengan usaha mandiri tanpa bantuan orang lain.Terakhir pada kisah Ayah Al-Ghozali, sebelum ia meninggal ia sempat berdoa kepadaNya :”untuk diberikan anak yang sholeh dan menjadi seorang Alim Ulama. Namun sayang ia tidak dapat menikmati kebanggaannya di dunianya, karena ajal telah mengampirinya semasa Ghozali masih kecil. Sebelum ia meninggal dunia ia sempat menitipkan kedua anaknya (seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian dijuluki Al-Ghozali), kepada seorang Sufi, (sahabat karibnya) sambil ia berkata ”Nasib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, berkata ayahnya kepada sahabat karibnya : “Aku titipkan dua anakku kepada mu untuk menggantikan kemalanganku, saya ingin menebusnya dengan para penghimpurku ini. perihalalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan ku, yang sempat aku tinggalkan ini. Selepas hal itu Ayah Ghozali menghembuskan nafas akhirnya diperadapan klasik itu. Hanya sang ibu lah yang menjadikan motivasi terbesar sehingga dimasa Anak-anak ia tubuh menjadi calon ulama, selama belajar bersama kerabat karibnya. Sepeninggalnya berkata seorang gurunya (kerabat karib Al-Ghozali) kepada (kedua titipan anak Al-Ghozali):”selepas ini ketahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagian kalian, seluruh harta peninggalan Ayahmu. Saya adalah orang miskin dan bersahaja dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian lakukan masuklah dalam madrasah sebagai murid. Mungkin hanya dengan jalan ini lah yang dapat mewujudkan impian Ayahmu dan kelangsungan hidupmu dan kebahagian yang abadi pada surgaNya.
Didalam madrasah Al-Ghozali sempat berguru dengan Imam Ahmad di sana ia pernah belajar sebagian ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani dan lebih mendalami ilmu tasawuf kepada Yusup An-Nasaj, sampai usia 20 tahun kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nidhamiyah Bagdad dan disinilah ia bertemu imam Haramain dan lebih belajar pada ilmu-imu mantiq, tasawuf , filsafat, risalah-risalah ikhwanu shofa dan menyelami paham filasafat barat terutama paham Aristoteles dan pemikir-pemikir filasafat yunani. Bahkan Al-Ghozali sanggup bertukar pikiran dengan berbagai aliran dan agama, serta menulis beberapa buku dalam konsep ilmu pengetahuan. Kemudian setelah lulus dari Madasrah tersebut karena dianggap pandai ia diangkat menjadi dosen di Universitas Nidhamiyah pada tahun 483/1090 M, dan banyak para murid atau mahasiwa universitas tersebut amat gemar dengan kuliah dan ceramah yang disampaikan oleh Al-Ghozali pada saat itu. Bahkan sebagaian para ulama dan masyarakat turut memperhatikan perkembangan pemikiran dan gagasan pandangan seorang Imam besar tersebut. Selama menjabat sebagai dosen Universitas tersebut teruslah Al-Ghozali belajar dan lebih banyak menulis karya-karya ilmiah hingga pada menelaah firqoh-firqoh, paham-paham aliran, Thaifah dan filsafat dan mewarnai pergolaaan dari pemikiran Al-Ghozali itu sendiri, sehingga ia ragu dengan kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi untuk menggetahui hakekatnya, hingga ia pernah terserang penyakit yang belum pernah ada obatnya, kecuali obat lahiriyah yaitu dengan mengembalikan ajaran tasawuf sebagai jalan hidupya. Dari kota Damsyik kemudian ia berpindah ke palistina dan di sini pula ia tetap merenung, membaca, menulis diBaitul Maqdis. Setelah itu ia bergerak lah hatinya untuk menunaikan ibadah haji setelah dan sesudah itu ia pulang ketempat kelahiranya dan ia meninggap dunia di Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M, tepat dihadapan adiknya Abu Mujiddudin, dengan meninggalkan 3 anak perempuan dan satu anak laki-laki dengan nama Hamid hingga ia mendapat sebuah gelar Abu Hamid yang berarti bapaknya Hamid Wallahi.

2. Corak Pemikiran Imam Al-Ghozali
Salah satu keunikan dari pola pemikiran beliau adalah bersifat konservatif (dimana aliran ini memandang sebuah persoalan pendidikan cenderung bersifat murni keagamaan. Dan mereka memakai ilmu dalam pengertian sempit yaitu ”hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan pada saat sekarang (hidup didunia) yang jelas-jelas akan membawa manfaat kelak diakherat seperti hanya penuntut ilmu atau seorang tholib dalam menutut ilmu berkeharusan mengawali belajarnya dengan kitabullaah dan berusaha menghafalnya serta mampu menafsirkannya.) Sebuah Pergolakan pemikiran yang amat panjang dari perjalanan seorang Imam besar dan seorang ilmuan muslim pada abad pertengahan. Bahkan para filosuf barat pun menggagumi akan kefaqihannya terhadap pemikiran dan karya-karya besarnya, hingga dapat mempengaruhi sebagian pola pikir filosuf barat walaupun ia juga pernah menggagumi kehebatan Aristoteles dimasa itu. Hal yang unik bagi dirinya bahwa perhatian hidup termasuk harta, jiwa dan potensi dirinya hanya tercurah pada ilmu pengetahuan hingga sifat beliau tidak pernah puas terhadap apa yang didapatkannya walapun itu berupa wujud penghargaan ataupun dalam bentuk lain. Selain itu pula keinginan dan azam yang kuat pengalaman, dan pengembaraan intelektual spiritual telah menjadikan pergeseran pemahaman dan cara pandang beliau dalam memahami dan mewujudkan karya-karya besarnya. Perpindahan-perpindahan itu dapat kita lihat, pada saat ia sedang belajar ilmu-ilmu kalam beralih pada filsafat, ketika ia belajar pada dunia batiniyah hingga beralih pada ajaran tasawuf sampai akhirnya ketika ia beralih pada ajaran sufistis pada ajaran Shalafus Sholeh, wallahu’alam. Pengaruh-pengaruh ini didapatnya ketika ia bermula belajar di Universitas ketika itu, hingga kemajuan pemikirannya sulit kita tebak dan kita ketahui. Namun pengaruh-pengaruh pemikiran muda-nya masih tetap ada dan hal ini dapat kita lihat disebagian tulisan beliau pada kitab-kitab mulianya. Dilain sisi ia juga mendemonstrasikan kebohongan-kebohongan para filosuf barat bahkan diakhir hayatnya ia menyesal hanya mempelajari ilmu-ilmu yang kurang berfaidah memboros-boroskan akal dan banyak menyia-yiakan waktu, walapun ia juga sempat menggatakan dan pernah membela ilmu warisan seorang filosuf yunani yang terkenal yaitu Aristoteles. Wallahi

B. Konsep tujuan pendidikan dan pendidik menurut islam
Sistem pendidikan Al-Ghazali sangat di pengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf (failasuf al-Mutasawwifin). Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam system pendidikannya.
1. Tujuan pendidikan menurut Imam Al-Ghozali
Dari Imam Al-Ghozali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin juz 1/13 : bahwa “tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja. Memberi arti bahwa apabila engkau mengadakan sebuah penyelidikan dan penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu untuk mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu itu sendiri, dengan demikan penelitihan penalaran dan pengkajian adalah mengandung kelezatan intelektual dan spiritual, dimana posisi ini akan menumbuhkan roh ilmiah dan cita rasa baru sebuah pengalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak
Pada konsep ini Al-Ghozali lebih mengedepankan keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat. Berkata imam Al-Ghozali dalam kitabnya : ”bahwa antara ilmu dan amal itu harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan setujuan dalam arti lain ilmu harus alamiyah dan amal harus ilmiah, sehingga dapat dicapai keharmonisan antara ilmu dan amal perbuatan Wallahi
Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan dunia dan akhirat. Berkata imam Al-Ghozali : ” Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan menghampiri dengan ketinggian malaikat demikian itu di akhirat. adapun didunia adalah kemulian, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghormatan menurut kebiasannya jelasnya “tujuan manusia tergabung dalam agama dan dunia adalah ladang kita bersinggah, menanam dan pengembaraan dengan amal kebaikan pada tujuan akhir hidup ini yaitu kebahagian yang abadi
Tujuan pendidikan yang telah dirumuskan oleh Al-Ghazali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya, karena ajaran tasawuf memandang dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus di dewakan, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut senantiasa mengintai manusia.
Bagi Al-Ghazali yang dikatakan orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga derajatnya lebih tinggi disisi Allah dan lebih kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
3. Pendidik menurut Imam Al-Ghozali
Menurut Al-Ghazali dalam proses pembelajaran pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat muthlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai malikul kabir. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan kedua orang tuanya.
Al-Ghozali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti mudaris, mualim. Al-Walid yang kesemuanya itu memberi arti seseorang yang mendidik Anak melalui ilmu yang ia pelajari hingga ia bener-bener faham betul terhadap materi dan hakekatnya. Adapun pembahasannya dapat kami uraikan sebagai berikut :
a. Kewajiban pendidik
Al-Ghazali berpandangan idealistik terhadap profesi seorang guru, idealitik menurutnya adalah “ seorang yang berilmu, dan beramal dan mengajar. Orang seperti ini adalah orang yang terhormat di kolong langit. Karena konsep dari pemikiran Al-Imam adalah ilmu dan amal haruslah selalu melengkapi, dengan arti lain apabila seorang guru hanya sekedar mengajar tanpa beramal dan memberikan tauladan terhadap para muridnya maka ia belum pantas disebut seorang guru yang mampu menjaga kehormatannya. Ilmunya banyalah sampah yang tidak akan berbuah dengan lebatnya, perbuatan amalnya tidak dapat dilukiskan seperti tumbuhnya kuncup-kuncup pada rantai pohon lain hingga yang paling bodoh ia ibarat sebuah roda jalan tanpa ada pedoman kemana ia harus membawa tujuan dan bagaimana caranya agar perabot ini bisa kita bahwa hingga kemuliaan dapat kita usung kesana. Berangkat dari perspektif idealistik bahwa Al-Ghozali berkata “seorang yang telah berkelut dengan dunia mengajar maka ia hendaknya menjaga kode etiket dan k ode etik profesinya, diantaranya : Pertama, memperlakukan mereka dengan kasih sayang seperti ia memperlakukan seperti anaknya sendiri. Kedua, seorang guru hendaknya selalu memperbaiki niat, ia mengejar hanya semata-mata untuk mencari keridhoan Allah bukan hanya upah belaka. Dan tidak berhak mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari seorang murid walapun sewajarnya ia memang harus demikian. Ketiga, tugas guru adalah pembawa siar nasehat. Oleh karena itu nasehat seorang guru tidak hanya pada lisan saja melainkan pada hati dan perbuatan dirinya. Keempat, mencegah peserta didik jatuh pada perbuatan tercela yang akan berakibat fatal bagi anak didik kita. Kelima,memahami bahwa dirinya selalu punya kekurangan maka jangan remehkan terhadap semua hal. Keenam, Sampaikan materi sesuai tingkat kepahaman mereka jangan terlalu tinggi dan juga jangan terlalu rendah (proposional), Ketujuh, Sampaikan kepada peserta didik yang berkemampuan rendah dengan jelas dan kongrit, tetap berlemah lembutlah kepadanya, bersabar atas ujian itu semuanya, jangan cela mereka atau bahkan menyalahkannya. Kedelapan, Guru harus mengamalkan ilmu sehingga peserta didik turut menjiwainya.
b. Profesi pendidik
1. Alasan yang berhubungan dengan naluri
Berkata Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin : “Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia dan mengajarkannya adalah memberi faidah bagi keutamaan itu
2. Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum
Artrinya orang yang mencari ilmu itu berada dalam keadaan berikut :
a. Mencari faidah dan guna ilmu
b. Mencari hasil ilmu pengetahuan hingga ia tidak bertanya-tanya
c. Memberi wawasan ilmu dan mengajarkannya.
3. Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan
Artinya seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia. Dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Sedangkan bagian yang paling mulia yang ada dalam Jauhar tubuhnya adalah hatinya, guru adalah pekerja dan penyempurna, pembersih, pensuci dalam membawa umat manusia pada cahaya dan mendekat pada tujuan yang sebenarnya yaitu kepada Allah
Imam Al-Ghazali menyusun sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik, adalah sebagai berikut :
• Pendidik hendaknya memandang peserta didik sebagai anaknya sendiri, menyayangi dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
• Dalam menjalankan tugasnya pendidik hendaknya tidak mengharapkan upah atau pujian. Tetapi hanya mengharapkan keridloan Allah SWT dan berorientasi untuk mendekatkan diri kepadanya.
• Pendidik hendaknya memanfaatkan setiap peluang untuk memeberi nasihat dan bimbingan kepada peserta didik, bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk memperoleh kedudukan dan kebanggaan duniawi.
• Terhadap peserta didik yang bertingkah laku buruk, hendaknya pendidik menegurnya sebisa mungkin dengan cara menyindir dan penuh kasih kasang, bukan dengan cara terus terang dan mencela, sebab teguran yang terakhir dapat membuat peserta didik berani membangkang dan sengaja terus-menerus bertingkah laku buruk.
• Hendaknya pendidik tidak fanatik terhadap bidang studi yang diasuhnya, lalu mencela bidang studi yang diasuh oleh orang lain.
• Hendaknya pendidik memeperhatikan perkembangan berfikir peserta didik agar dapat menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan berfikirnya. Hendaknya ia tidak menyampaikan ilmu di atas kemampuan berfikir dan jangkauan pemahaman peserta didik.
• Hendaknya pendidik memperhatikan peserta didik yang lemah dengan memberikannya pelajaran yang mudah dan jelas, dan tidak menghantuinya dengan hal-hal yang sulit dan dapat membuatnya kehilangan kecintaan terhadap pelajaran.
• Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya dan tidak sebaliknya

E. Analisis kritis terhadap konsep tersebut
Konsep yang ditawarkan oleh Al-Ghazali dalam pendidikan memang bagus, yaitu keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat. Akan tetapi dalam dunia pembelajaran, sifat pembelajaran masih bertumpu pada paradigma klasik yaitu pusat pembelajaran dalam menerima sebuah materi hanya terbatas pada media seorang guru. Jadi pendidik dituntut lebih aktif dalam KBM. Padahal kalau ditela'ah lebih dalam lagi masih banyak media belajar yang dapat digunakan, seperti buku dan yang lainnya. Dapat di ambil kesimpulan bahwa peserta didik adalah objek belajar, dan ini sangat berbeda sekali dengan pendidikan modern pada masa sekarang ini bahwa peserta didik adalah subjek. Jadi peserta didik tidak hanya menerima materi secara pasif akan tetapi adanya timbal balik antara pendidik dan peserta didik..
Keberadaan guru jika dikaitkan dengan profesi dunia dan akhirat dalam pandangan yang seimbang antara hak dan kewajiban tidak hanya semata-mata ikhlas dalam profesi ini, tetapi seorang guru juga harus dibekali rasa aman, rasa tenang yang dari kesemuanya itu tidak semata-mata bersumber dari bentuk sufistis (abstrak) tetapi haruslah di imbangi dengan bentuk kongritnya. Terlebih lagi jika dikaitkan pada zaman sekarang ini. paradigma ini sudah tidak layak pakai. Karena guru juga membutuhkan kesejahteraan untuk bisa meneruskan kelangsungan hidupnya buat dirinya dan keluarganya jika ia telah berkeluarga. Dengan kata lain guru juga membutuhkan upah hasil kerjanya untuk meneruskan hidupnya. Apalagi ketika pendidik sudah mempunyai sebuah keluarga, maka ia juga harus menghidupi keluarganya karena apabila tidak demikian akan terjadi gejolak sosial akibat dari hal tersebut.
Seharusnya ikhlas tidak di maknai semata-mata tidak boleh mengharap imbalan. Akan tetapi seorang pendidik harus ikhlas dalam mengajar supaya dia bisa efektif dalam menjalankan tugasnya, dan tidak semata-mata karena uang. Akan tetapi sudah selayaknya seorang pendidik mendapatkan upah dari profesinya agar guru juga bisa menjalani hidupnya dengan baik.
Bentuk aplikasi hakekat tujuan pendidikan pada pola pikir Al-Iman Al-Ghozali memang sudah benar, namun dalam mewujudkan dari tujuan pendidikan tersebut haruslah kita kaji lebih mendalam
Pendidik dalam konteks kekinian memang harus orang yang punya keahlian khusus, tetapi keahlian tersebut hendaknya harus di imbangi dengan fasilitas dan sistem yang mendukung disana. Tanpa hal itu keprofesionalan seorang guru tidak akan berarti apa-apa Wallahu’alamu bishawab
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa ketika peserta didik melakukan kesalahan, hendaknya dikasih tahu dengan cara yang halus. Mungkin itu benar, akan tetapi jika diterapkan pada anak-anak masa sekarang ini maka itu tidak akan efektif karena anak pada zaman sekarang lebih kritis dan mempunyai keberanian untuk melawan. Cara yang kasar mungkin diperlukan apabila peserta didik mempunyai watak keras dan suka melawan. Akan tetapi sebaiknya pendidik tidak serta merta mendahulukan cara yang keras dari pada cara yang halus.
Al-Ghazal lebih menekankan pada ilmu agama daripada ilmu umum, akan tetapi beliau juga berkata kalau tidak boleh ada diskriminasi dalam mempelajari ilmu. Ini menunjukkan tidak konsistennya al-ghazali


BAB IV
SIMPULAN

Tujuan pendidikan yang terarah dan pendidik yang ahli tentunya amat membutuhkan pandangan dan pencerahan baru terhadap perkembangan pendidikan pada khususnya padangan dan pola pikir yang konservatif dalam memecahkan sebuah masalah yang ada.Namun tawaran Al-Ghozali ini akan dapat terwujud mana kala didukung antara keseimbangan jasmani dan rohani, individu sosial, dunia akhirat serta pandangan dan posisi kita antara haq dan kewajiban kita dipersimpangan jalan menuju kehidupan yang kekal, sikap, kebijakan, pilihan keputusan, kejujuran akan terurai dan terangkai dalam satu kesatuan yaitu sadar diri, dan tidak boleh memandang sebelah mata saja terhadap urusan yang ada. Wallahu’alam bishawab


DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, 2005. Filsafat pendidikan Islam, Gaya Media Pratama : Jakarta
Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009. filsafat penddikan Islam, Kalam Mulia : jakarta
Zainuddin, dkk. 1991. Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghozali. Cet 1 Penerbit, Bumu Aksara :Jakarta
Muhammad Jawwad Ridla.2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan. Cet 1 Penerbit PT.Tiara Wacana : Yogyakarta
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1999 Falsafah Pendidikan Islam. Cet 1 Penerbit Bulan Bintang : Jakarta
Busyairi Madjidi. 1997. Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim. Cet 1 Al-Amien Press : Jakarta

Tidak ada komentar: